19 March 2015

Review: Cinderella (2015)


United Kingdom | Romance, Sci-Fi and Fantasy | PG | Directed by: Kenneth Branagh | Based on: Disney's Cinderella Cendrillon by Charles Perrault | Written by: Chris Weitz | Cast: Lily James, Richard Madden, Cate Blanchett, Stellan Skarsgård, Holliday Grainger, Derek Jacobi, Helena Bonham Carter | English | Run time: 112 minutes

Sinopsis:
Setelah ditinggal oleh ayah dan ibunya, Cinderella hidup dibawah kekejaman ibu dan dua saudari tirinya. Di sisi lain ada seorang pangeran tampan yang sedang mencari perempuan baik hati yang akan dijadikan seorang istri.

Review:
Selain kisah superhero, kisah dongeng atau fairy tale menjadi materi yang sedang hangat-hangatnya diangkat oleh Hollywood menjadi sebuah film. Gue kurang tahu film apa yang pertama kali memulai gelombang film live action fairy tale ini. Namun yang jelas akan semakin banyak film adaptasi dongeng di beberapa tahun ke depan. Sebagai contoh adalah Beauty and The Beast yang disutradarai oleh Bill Condon (Twilight: Breaking Dawn Part 1 and Part 2) yang diperankan oleh Emma Watson, lalu ada The Jungle Book yang disutradarai oleh Jon Favreau (Chef, 2013), dan The Little Mermaid yang disutradarai oleh Sofia Coppola (Lost in Translation, 2003).

Mengangkat cerita dongeng menjadi sebuah film bukanlah perkara yang mudah. Kita sebagai penonton sudah pasti hafal dengan kisah dongeng yang diangkat jika tidak mau dikatakan sudah jenuh. Suatu tantangan bagi pembuat film untuk membuat filmnya ini terasa baru atau setidaknya membuat penonton penasaran atau tertarik untuk menonton. Seolah ada dorongan bagi pembuat film untuk menyajikan formula lain dari sebuah dongeng klasik, sebuah upaya memperbarui kisah-kisah lama. Hal ini adalah yang terjadi di film Maleficent (Robert Stromberg, 2014) yang merupakan sebuah re-imagining dari film Disney klasik Sleeping Beauty (1959). Namun hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh sutradara dan penulis film Cinderella, yakni Kenneth Branagh dan Chris Weitz. Bukannya memberi formulasi baru ia justru merangkul materi aslinya dengan sepenuh hati dan berupaya untuk merekayasa kembali magic yang ada di film terdahulunya.


Do I really need to explain the story? Pada suatu hari ada seorang gadis kecil nan manis bernama Ella (Eloise Webb) yang hidup bahagia bersama Ayah (Ben Chaplin) dan Ibunya (Hayley Atwell). Namun ibunya jatuh sakit dan meninggal. Kini Ella sudah dewasa (Lily James) dan Ayahnya memutuskan untuk menikah kembali. Ayahnya menikah dengan Lady Tremaine (Cate Blanchett) yang memiliki dua orang putri, yaitu Anastasia (Holliday Grainger) dan Drisella (Sophie McShera). Namun tak lama setelah menikah Ayah Ella meninggal. Ella yang sekarang sendirian diperbudak oleh ibu dan saudara tirinya serta diberi julukan Cinderella. Kemudian seorang pangeran Robb Stark Prince "Kit" Charming (Richard Madden) menyelenggarakan pesta dansa untuk mencari perempuan yang pantas untuk dijadikan istrinya. Lalu ada bagian yang melibatkan The Fairy Godmother (Helena Bonham Carter), kereta labu, sepatu kaca, dan happily ever after. Begitulah kisah klasik Cinderella dan begitu jugalah yang diangkat oleh film ini.

Have courage and be kind. Itu merupakan ucapan Ibu Ella kepadanya pada saat-saat terakhir ia hidup. Kata tersebut kemudian bergaung sepanjang film ini dan bertranformasi menjadi sebuah pakem. Uniknya kata tersebut juga menjadi sebuah kata yang tepat untuk menjelaskan film ini. Film ini dapat dikatakan berani untuk menceritakan kembali kisah Cinderella dengan apa adanya. Merangkul sepenuhnya materi aslinya. Setia dan seperti yang telah gue bilang di atas berusaha merekayasa kembali magic yang telah ada sebelumnya. Namun film ini tidak lantas lupa memberikan sebuah kedalaman baru terhadap karakter yang telah ada. Gue tertarik dengan penggalian karakter the evil step-mother Lady Tremaine. Meski cukup sederhana, ada momen di film ini yang menjelaskan mengapa Lady Tremaine bisa sejahat itu terhadap Cinderella. Pada dasarnya dia hanyalah seorang manusia biasa yang ingin hidup bahagia, tindakan-tindakan jahatnya didorong oleh rasa cemburu yang mengisi ruang hatinya yang masih dikabuti rasa sedih. Untungnya momen itu berhasil dituturkan dengan sangat menawan oleh Cate Blanchett dan menjadi sebuah highlight film ini.


Hal yang tidak dapat terlewatkan dari menonton film ini adalah untuk menikmati keindahan yang ada di bidang tata artistik. Gue terpukau dengan penggarapan production set dan costume design film ini. Film ini berhasil menciptakan sebuah latar yang tepat untuk menceritakan kisah Cinderella. Cantik dan dipenuhi oleh detail-detail menarik, terutama ketika adegan dansa di istana. Semuanya terlihat megah dan berkilauan. Kemudian untuk gaun yang digunakan Cinderella di pesta dansa. Gaun warna biru hasil sihir Fairy Godmother benar-benar mampu menyihir mata gue. Ibaratnya out of this world, gaun tersebut terlampau indah. Kesoktahuan gue berkata bahwa Branagh yang dulunya meruapakan pemain theater Shakespeare mampu bermain dengan hal-hal tersebut dengan sangat sempurna di film ini. Alhasil menciptakan sebuah tontonan yang manis di mata namun juga hangat di hati.

"Just a little bit of magic," ucap Fairy Godmother di film ini. Nyatanya film ini tidak dipenuhi oleh sedikit magic melainkan banyak magic. Film ini akan menjadi sebuah catatan bagi pembuat film adaptasi kisah dongeng mendatang bahwa keserdahanan dan kesetiaan terhadap materi asli merupakan sebuah opsi yang valid. Kenneth Branagh dan Chris Weitz berhasil menyajikan sebuah tontonan yang mampu merekayasa magic yang ada di materi aslinya. Sebuah film yang cantik dan hangat.

Best Scene:
Selain momen Lady Tremaine yang sudah gue jelaskan sebelumnya, momen terbaik film ini ada di adegan pesta dansa. Cinderella yang datang paling akhir mampu mencuri perhatian. Semua mata tertuju padanya, termasuk mata Pangeran Kit. Mereka berdua kemudian berdansa dan disaksikan para tamu yang terpukau. Sebuah adegan yang diwarnai dengan visual yang indah. Pesan moral: jika mau menjadi perhatian semua orang, datanglah terlambat seperti Cinderella. Nah, just kidding.


Kesimpulan:
Have courage and be kind, or something like that.

Magic, magic and magic. Cinderella is full of magic. Sebuah kisah dongeng klasik yang diceritakan dengan apa adanya dan benar-benar mampu merekayasa kembali magic yang ada di materi aslinya. Cantik dan hangat. Good job!


P.S.
Banyak juga ya kata "magic" di tulisan ini. Gue males cari kata-kata lain keburu mau tidur.

What do you think about this movie? Share your opinion in the comment box below :D

4 comments:

  1. Yes, I do love this film. Rasanya seperti nostalgia masa kecil yg terpuaskan. 1 lagi yg buat ceritanya tambah bagus adalah ada alasan rasional kenapa pangeran bisa jatuh cinta dan ngadain pesta dansa. Ga semata2 kayak pangeran linglung yg tanpa sadar jatuh cinta pd Cinderella. Good job, Kenneth!^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya saya setuju sekali! Terima kasih telah berkunjung :D

      Delete
  2. Meski laki-laki, saya juga sangat mengagumi luar biasanya gaun biru si Cinderella.
    Anggun, menawan, dan saya pastikan cewek manapun bakal cantik kalo make tu gaun.
    Simple tanpa banyak aksen, tapi aura kecantikannya mampu terpancar luas.
    Lucunya, saya justru lebih mengagumi gaun biru Cinderella ketimbang kostum baru Batman. wkwkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkwkwk, penyajian gaun Cinderella di film ini memang W.O.W banget.

      Btw, dengan kostum Batman kali ini, the infamous bat-turn akan kembali lagi, hehehe.

      Delete