23 May 2013

Review: To the Wonder (2013)


United States | Drama, Romance | R | Directed by: Terrence Malick | Written by: Terrence Malick | Cast: Ben AffleckOlga KurylenkoRachel McAdamsJavier Bardem | English | Run time: 113 minutes |

Plot:
Cinta antara Neil (Ben Affleck) dengan Marina (Olga Kurylenko) bersemi di Perancis. Tak lama mereka memutuskan untuk hidup bersama di Amerika Serikat. Masalah pun timbul. Neil kemudian bertemu dengan teman kecilnya, Jane (Rachel McAdams).

Review:
Dari segi cerita, layaknya film-film Terrence Malick (Tree of Life) sebelumnya, To the Wonder terasa sulit jika diceritakan secara menyeluruh. Diisi dengan dialog minim nan puitis, cerita film ini membuka pintu selebar-lebarnya untuk interpretasi penonton. Film ini berputar pada kisah cinta antara seorang pria Amerika bernama Neil dengan seorang wanita bernama Marina. Hubungan yang mereka miliki tidak semulus yang diperkirakan. Sulitnya Marina dan anaknya untuk beradaptasi dengan kehidupan di Amerika Serikat menjadi pembuka permasalahan yang mereka hadapi. Satu demi satu, masalah lain menerpa mereka. Hal ini berujung pada bertemunya kembali Neil dengan teman kecilnya, Jane. Untuk sementara, hubungan diantara keduanya berjalan manis. Namun, cinta terkadang tidak sesederhana yang dipikirkan.

Di sisi lain, kita diperlihatkan pada cerita yang dimiliki oleh Father Quintana, seorang pendeta yang sedang mengalami krisis kepercayaan. Quintana menjalani hidup yang monoton. Kesehariannya dia habiskan dengan berkhotbah kepada para jemaahnya mengenai pentingnya rasa cinta. Agak mengelitik bagi Quintana karena rasa cintanya kepada kekasihnya, yaitu Sang Kristus sedang dalam ujian. Dia sedang meragukan rasa cintanya kepada-Nya.


Secara sekilas memang kisah antara Neil-Marina-Jane dengan Father Quintana tidak memiliki tali pengikat yang kuat. Kesemua tokoh tersebut terkadang dipertemukan dalam suatu adegan namun tidak memilki dampak cerita yang berarti. Benang merah di antara keduanya, malah dapat dikatakan tema dari film ini, adalah rasa cinta. Menurut interpretasi gue, To the Wonder adalah sebuah film yang mencoba merangkum segala suka dan duka cinta. Terkadang cinta datang dan hilang begitu saja. Ada yang bersumber pada rasa cinta tetapi ada juga yang bersumber pada nafsu belaka. Kita diperlihatkan pada kerumitan perilaku manusia dalam suatu hubungan cinta bahwa terkadang perasaan dan kegundahan dalam hati tidak semudah itu disampaikan dengan tutur kata. Dalam film ini kita juga diperlihatkan mengenai sulitnya menjaga rasa cinta terhadap Tuhan, bagaimana rasa kepercayaan kadang kali dihinggapi rasa keraguan.

Seperti biasa, hasil karya Malick pastinya dihiasi dengan visual menarik nan cantik tiada duanya. Coba kita lihat trailer film ini. Bagi gue, trailer tersebut merupakan salah satu yang terbaik yang pernah gue liat. Bagaimana tidak? Keindahan visual diiringi dengan harmoni audio membuat emosi gue tidak dapat terbendung lagi. Kurang lebih seperti itulah yang akan dirasakan ketika menonton To the Wonder. Sinematografi yang digarap oleh Emmanuel Lubezki dan scoring yang diisi oleh Hanan Townshend benar-benar mampu membuat penonton hanyut dalam keindahan sinema setingkat puisi. Hal ini lah menjadikan To the Wonder sebagai pengalaman cinematic poetry yang mumpuni. 


Satu yang menjadi kekurangan besar film ini adalah dalam segi cerita, terkait dengan perkembangan karakter dan fokus cerita. Dalam durasi yang hampir mendekati dua jam, To the Wonder tidak memberikan cerita yang bisa membuat kita hanyut tenggelam. Cerita film ini terkesan hanya berputar-putar saja. Konflik yang dialami masing-masing tokoh terus berulang hingga akhir film tanpa adanya tanda resolusi. Minimnya eksplorasi karakter juga mengakibatkan kita kurang bisa memberikan simpati terhadap konflik yang mereka alami. Akumulasi dari itu semua membuat To the Wonder amat sulit untuk ditonton, malah terkadang membuat frustasi. Ya, tapi tidak bisa disalahkan juga sih, karena pada intinya To the Wonder adalah sebuah puisi.

Best Scene:
You made it into nothing. Suatu hal yang amat disayangkan, tokoh Jane hanya muncul sekilas saja. Menurut gue tokoh Jane dapat membuat cerita To the Wonder lebih menarik lagi dengan memicu konflik-konflik yang lebih kompleks. Menurut gue, dari banyak scene cantik di film ini, pilihan jatuh pada bagian Jane menjelaskan akhir hubungannya dengan Neil. Dengan latar sebuah rumah yang gelap, Jane berdansa diiringi tata lampu yang menarik. Hal ini membuat kesedihan Jane tergambarkan dengan baik.


Jadinya?
You shall love, whether you like it or not. To the Wonder layaknya The Tree of Life merupakan sebuah cinematic poetry yang mumpuni. Minimnya cerita yang mendalam mungkin menjadi rintangan yang besar untuk menonton film ini. Akhir kata, To the Wonder memang bukan diperuntukkan untuk semua orang, butuh mood tepat dan motivasi kuat untuk menonton film ini.

4 comments:

  1. Kurang dikembangkanya karaktter buat saya sebenarnya sesuai sama apa yang coba diangkat sama film ini. Cuma sayangnya emosi secara keseluruhan kurang kuat. Trailer-nya jauh lebih keren hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trailer film ini sebagus itu, bingung banget nontonnya, hehehe.

      Delete
  2. Setuju bgt sama karakter Jane, padahal Rachel McAdams mainnya keren :) Setuju jg sama Best Scene-nya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener kak, sayang banget dia cuman muncul sebentar, hehe

      Delete