United States | Horror | PG-13 | Directed by: Leigh Whannell | Written by: Leigh Whannell | Cast: Lin Shaye, Dermot Mulroney, Stefanie Scott, Angus Sampson, Leigh Whannell | English | Run time: 97 minutes
Sinopsis:
Seorang remaja putri ingin mengubungi ibunya yang telah meninggal namun malah diikuti oleh sesosok jahat yang menghantui. Seorang cenayang akhirnya berusaha untuk menyelamatkannya.
Review:
Jujur, sebenarnya saya agak kesulitan menulis resensi film ini. Insidious Chapter 3 adalah film horor namun sepanjang film saya sedikit sekali dibuat ketakutan malah justru lebih banyak dibuat tertawa. Film ini tidak lagi disutradarai oleh James Wan, yang kini telah menemukan rezekinya di luar film horor. Kursi sutradara kemudian dipercayakan kepada Leigh Whannell, penulis dua film Insidious sebelumnya dan juga film ini. Insidious 3 merupakan sebuah prequel, menceritakan kisah gaib yang terjadi sebelum peristiwa keluarga Lambert dan menceritakan pertemuan antara Elise dengan dua anak buahnya.
"If you call out to one of the dead, all of them can hear you," ucap Elise kepada Quinn. Elise (Lin Shaye) adalah seorang cenayang yang ingin pensiun. Suatu hari ia didatangi oleh Quinn Brenner (Stefanie Scott), seorang remaja putri yang ingin menghubungi ibunya yang telah meninggal. Merasa kasian Elise pun terpanggil untuk membantu Quinn. Proses komunikasi tersebut dilakukan dan tidak berhasil, akibat dari sesuatu dari masa lalu yang menghantui Elise. Quinn sesungguhnya sedang diikuti oleh sesosok jahat yang pada akhirnya secara tidak langsung menyebabkan dirinya tertimpa musibah. Quinn yang saat ini berada di kursi roda semakin hari semakin diganggu oleh sesosok jahat tersebut. Untuk mengakhirinya, ayah dari Quinn, Sean Brenner (Dermot Mulroney), meminta Elise untuk membantunya.
Sudah menjadi khas Insidious untuk membuka filmnya dengan suara nyaring membuat hati kaget dan gelisah-gelisah sendiri, tidak terkecuali di film ini. Namun sejak awal film ini bergulir saya merasakan ada yang berbeda. Suara nyaring tersebut terasa seperti suara nyaring biasa, tidak mampu memberikan efek sebagaimana yang ada di kedua film sebelumnya. Selanjutnya, film ini memang masih menggunakan jump scare seperti film-film terdahulu. Namun di film ini jump scare tersebut tidaklah didukung dengan pembangunan atmosfir yang mumpuni. Akibatnya jump scare yang menjadi andalan film ini tidaklah membuat kaget atau ngeri, berlalu begitu saja tanpa berhasil mengusik ketenangan hati ini. Selain itu, karakter setan di film ini, yaitu yang dinamakan The Man Who Cannot Breathe, namun untuk mempersingkat kita beri nama saja hantu bengek, tidaklah memorable, jauh berbeda dengan hantu Darth Maul atau Black Bride yang ada sebelumnya.
Saya tidak pernah absen untuk menonton film Insidious, meski sebenarnya saya bukanlah fans berat franchise ini. Menurut saya baik Insidious pertama dan kedua cukup menghibur, berbeda sekali dengan film ini. Insidious 3 selain tidak terlalu seram ataupun mengejutkan juga berjalan begitu datar, flat tidak seperti snack Chitato. Dari jalan cerita, dinamika keluarga Brenner tidaklah memiliki chemistry yang cukup. Akhirnya membuat perjalan kita menonton film berdurasi 97 menit ini terasa kurang lebih anyep. Menjelang akhir sajian yang katanya horor ini bagi saya malah berubah menjadi komedi. Kehadiran dua pemburu hantu abal-abal, Specks (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson), cukup membuat tawa dalam artian baik. Lalu, saya tahu ini tidak disengaja oleh Whannell, klimaks film ini sungguhlah dapat ditertawakan dalam artian buruk. Adanya adegan jorok-jorokan antara hantu dan manusia yang kemudian diakhiri dengan hentakan kaki yang membelah lantai rumah sungguhlah membuat saya garuk-garuk kepala lalu tertawa tanda tidak tahu mau bereaksi apa. Klimaks film ini layaknya parodi dari film Insidious itu sendiri.
Saya akui tugas yang diemban Whannell tidaklah ringan, apa lagi jika mengingat bahwa film ini adalah debut feature-nya. Selain itu juga Insidious bisa dibilang sebagai franchise horor paling ikonik di belakangan tahun ini. Tidak mudah untuk menghasilkan karya pertama dengan tekanan beban seperti demikian. Terlebih lagi dengan keputusannya untuk membuat installment ketiga ini sebagai sebuah prequel. Mungkin niat untuk memberikan fresh take kepada franchise ini malah membuat tugas Whannell semakin berat karena ia tidak hanya sekedar melanjutkan namun harus memperkenalkan cerita baru serta mempertahankan unsur-unsur yang lama. Akhir kata, mungkin Whannell harus lebih banyak belajar agar mampu membuat film yang berada di satu tingkat di atas ini.
Best Scene:
Sesungguhnya ada dua jump scare yang tereksekusi baik di film ini: adegan yang melibatkan jendela dan adegan cicak-cicak di dinding (cicak diganti setan).
Kesimpulan:
This is how you die.
Insidious Chapter 3 adalah sebuah penurunan kualitas. Meski digarap oleh Leigh Whannell yang merupakan orang lama franchise ini, film ini tampak kehilangan kualitasnya tanpa kehadiran James Wan di kursi sutradara. Kurangnya pembangunan atmosfir yang memadahi mengakibatkan jump scare yang menjadi andalan berlalu begitu saja, tidak mampu membuat ketenangan hati ini terusik. Insidious Chapter 3 tidak seram bahkan lebih seperti guyonan ketika menyampai klimaksnya.
What do you think about this movie? Share your opinion in the comment box below :D
Tetep yg paling ngagetin dr film ini cuman pas James Wan nongol. Langsung deg-degan lihatnya hehehe
ReplyDeleteMunculnya kayak juri Indonesia Mencari Bakat gitu, hehehe
Deleteyang paling lucu pas elise bilang come on bitch setelah dicekik hantu.....disitu kadang saya mrasa tertawa...padahal ditunggu-tunggu eh filmnya gak bagus ternyata....beda ma yg pertama and kedua yg serius bikin merinding and dapet jalan ceritanya.....sosok james wan emang hebat membuat film insidious 1 dan 2 kalau yg ketiga kecewa mode on sorry bad movie
ReplyDeleteHahaha, iya bener. Pas dia bilang, "come on bitch," emang lucu banget. Heran, Insidious kenapa jadi film komedi gini :(
Delete