12 June 2014

Review: Edge of Tomorrow (2014)


United States | Action & Adventure, Sci-Fi & Fantasy | PG-13 | Directed by: Doug Liman | Based on: All You Need is Kill by Hiroshi Sakurazaka | Written by: Christopher McQuarrie, Jez Butterworth, John-Henry Butterworth | Cast: Tom Cruise, Emily Blunt, Bill Paxton, Brendan Gleeson | English | Run time: 113 minutes

Plot:
Akibat dari kontak alien yang menyerang bumi, seorang tentara terjebak dalam pusaran waktu sehingga ia dapat memutarbalikan hari saat ia mati. 

Review:
Menurut Malcolm Gladwell dalam bukunya yang berjudul "Outliers", seseorang dapat dikatakan menjadi ahli dari sesuatu jika ia telah melakukan hal tersebut sampai 10.000 jam. Jadi, jika dijadikan hitungan hari, seseorang akan menjadi ahli setelah kurang lebih 400 hari. Sudah pernah nonton Groundhog Day (Harold Ramis, 1993)? Di film itu, tokoh yang bernama Phil Connors (Bill Murray) terjebak dalam pusaran waktu yang memaksanya hidup pada hari yang sama hingga, mungkin, beratus-ratus kali. Pada intinya, Phil yang awalnya tidak memiliki keahlian tertentu, pada akhir film dapat memainkan piano, memahat es, dan keahlian-keahlian lain dengan luar biasa mahir. Hal ini menunjukan entah berapa lama tokoh Phil tersebut terjebak dalam pusaran waktu itu. Konsep yang dimiliki oleh Edge of Tomorrow sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan film Groundhog Day. Di film ini, tokoh William Cage (Tom Cruise) terjebak dalam pusaran waktu yang memaksanya hidup pada hari yang sama secara berulang-ulang, yang mana hari tersebut terulang saat ia mati. Cage bukanlah tentara yang terlatih, untuk menghentikan alien yang menyerang bumi, ia harus mati berkali-kali, mengulang hari untuk berlatih kembali agar dapat menghentikan serangan alien di bumi. 

In not so distant future, bumi dibombardir oleh sejumlah meteor yang di dalamnya terdapat alien yang dinamakan mimic. Dalam waktu yang tidak lama, mimic berhasil menguasai daratan Eropa. Semua negara di bumi bersatu untuk membentuk United Defense Forces (UDF) untuk menghentikan invansi tersebut. Untuk mengalahkan mimic, manusia menciptakan exoskeleton, semacam rangka luar yang digunakan oleh tentara UDF. William Cage, seorang tentara berpangkat mayor Amerika Serikat, menolak untuk ikut berperang dalam operasi besar-besaran pemusnahan mimic. General Brigham (Brendan Gleeson), jenderal yang memimpin operasi tersebut, menghukum Cage sebagai seorang disertir. Hal ini mengakibatkan dirinya kehilangan seluruh pangkatnya dan terpaksa bergabung dengan tentara yang akan melaksanakan serangan esok harinya.


Cage yang tidak pernah bertempur sama sekali tumbang tidak lama setelah ia tiba di medan pertempuran. Namun sebelum ia mati, Cage sempat terpapar darah mimic langka yang mengakibatkan dirinya mampu memutarbalikan waktu pada saat ia mati. Dalam pengulangan hari-hari berikutnya, ia bertemu dengan Rita Vrataski (Emily Blunt), tentara UDF yang dianggap sebagai pahlawan. Vrataski yang ternyata pernah memiliki kemampuan memutarbalikan waktu akhirnya melatih Cage dan bersama dengan Sergeant Farell (Bill Paxton) mencari cara untuk menghancurkan mimic untuk selama-lamanya.

Film ini diangkat dari novel berbahasa Jepang dengan judul All You Need is Kill yang ditulis oleh Hiroshi Sakurazaka. Dalam adaptasinya yang ditulis oleh Christopher McQuarrie, Jez Butterworth, dan John-Henry Butterworth, Edge of Tomorrow berhasil menjadi sebuah cerita sci-fi yang unik, menarik, dan tetap teguh pada konsep materi aslinya. Sebuah tantangan memang untuk menceritakan sebuah kisah yang pada strukturnya memiliki sifat yang berulang, namun mereka berhasil membuat skrip yang padat tetapi tidak melupakan detail-detail penting. Kesan yang gue terima dari menonton film ini adalah bagaimana para screenwriter mampu mendikte penonton secara perlahan untuk memahami konsep yang ditawarkan Edge of Tomorrow tetapi tetap memberikan ruang bagi penonton untuk berspekulasi, ikut terbawa dengan konflik, dan pada akhirnya ikut merasakan ketegangan ketika sadar pada fakta bahwa mungkin tokoh-tokoh ini tidak lagi dapat memputarbalikan waktu. 


Cerita yang dimiliki oleh Edge of Tomorrow merupakan fondasi yang cukup kuat bagi Doug Liman (Bourne Identity, 2002) untuk mengemas film ini secara rapi. Dalam terjemahannya dari skrip menuju gambar bergerak, Liman berhasil membawa konsep unik yang dimiliki film ini menjadi sebuah tontonan yang tidak membosankan. Liman berhasil pula membawa unsur ketegangan layaknya yang ada di Bourne Identity ke dalam sebuah ranah sci-fi dan memasukan unsur humor yang menjadikan Edge of Tomorrow layaknya roller coaster yang penuh tegang dan senyum. Pada akhir kata, pengalaman gue menonton Edge of Tomorrow merupakan pengalaman yang menyenangkan. Sebuah film yang membawa konsep menarik dan dieksekusi secara matang sehingga jauh dari kata membosankan. 

Best Scene:
Mungkin pada salah satu bagian paling rileks di film ini, yakni setelah Cage dan Vrataski berhasil keluar dari pantai dan menghancurkan mimic yang bersemubunyi di karavan yang ada di belakang mobil mereka. Di saat itulah mereka berdua memiliki kesempatan untuk mengenal satu sama lain. Pada scene tersebut diperlihatkan bahwa Cage, setelah beberapa kali pengulangan, mulai mengenal Vrataski secara pribadi. Menurut gue scene ini yang paling mengeksplor chemistry kedua tokoh ini dan menggambarkannya layaknya manusia.


Jadinya?
Full metal bitch. Singkat kata, Edge of Tomorrow merupakan Groundhog Day-nya sci-fi. Film dengan konsep yang menarik dan mampu membuat penonton merasa dirinya sedang berada di roller coaster yang penuh dengan tegang dan selingan senyum.


 

2 comments:

  1. Hi Luthfi, where have you been! Glad to see you back.
    Edge of Tomorrow lumayan sih, cuma semakin ke ending kok gw ngerasa ceritanya jadi ga efektif dan ga konsisten dengan introduksi sampai tengah film. Overall, cukup bisa dinikmati tapi justru terasa ga rapi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, semester lalu benar-benar tidak ada waktu luang, bahkan waktu untuk nonton film pun sedikit.
      Kalo gue sih nangkepnya mereka ngasih kesempatan penonton untuk tahu beberapa skenario yang akan terjadi jika tokoh-tokoh tersebut melakukan tindakan yang lain. Jadi perasaan what if setelah kita tonton akan berkurang.

      Delete